اهلا و سهلا بكم

Assalamu'alaikum,,,hi sobat selamat datang di blog sederhana ini. Dalam blog ini aku akan post beberapa artikel dan makalah-makalah ataupun cerpen yang aku harapkan insya Allah bisa memberi manfaat untuk kita semua...Salam perubahan kepada yang lebih baik!!!

Sabtu, 18 Februari 2012

KONSEP DIRI Dan TAZKIYAH AL-NAFS


Pendahuluan
Allah SWT. Berfirman dalam al-Qur'an:
  
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, [9] dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.[10] (Q.S. al-Syams)
Islam senantiasa memberikan bimbingan kepada penganutnya, kepada orang-orang yang yakin akan agama Islam tersebut. Bimbingan itu tentunya diberikan tidak lain hanya untuk menghantarkan umat Islam tersebut kepada kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang sejati.
Islam memandang kebahagiaan tidak stagnan hanya pada kebahagiaan duniawiyah atau hanya semata kebahagiaan yang tampak oleh pandangan semata. Namun Islam menawarkan dan memberikan metode tentang bagaimana kebahagiaan tersebut benar-benar dirasakan oleh hati atau jiwa manusia. Karena pada hakikatnya kebahagiaan tersebut dirasakan oleh hati, bukan oleh panca indera manusia.
Dua ayat surat al-Syams di atas kiranya dapat memberikan gambaran bagaimana cara memperoleh ketenangan hati sehingga akhirnya hati tersebut menemukan kebahagiaannya yang hakiki, yang sejati.
Namun untuk lebih jelasnya mari bersama-sama kita pelajari isi makalah ini. Tetapi kami mohon maaf sebelumnya jika terdapat banyak kekurangan dalam pembahasan yang kami uraikan, karena keterbatasan ilmu kami. Untuk itu ada baiknya agar kita mendiskusikannya bersama-sama.

 
Pengertian
Konsep diri adalah sekumpulan keyakinan, fakta, opini, dan persepsi tentang diri sendiri dengan mana Anda menjalani kehidupan, setiap saat dari setiap hari.[1]
Cara Mengenal Dan Memposisikan Diri
Di dalam al-Qur'an memang tidak pernah disebutkan secara langsung mengenai anjuran untuk mengenali diri kita. Al-Qur'an hanya memerintahkan manusia agar senantiasa memikirkan mengenai penciptaan Allah SWT., termasuk tentang penciptaan dirinya sendiri. وَفي أَنْفُسِكُم أَفَلاَ تُبْصِرُونَ
Setiap manusia mempunyai karakteristik/identitas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Arab karakteristik/identitas dikenal dengan istilah syakshiyyah. Kata ini biasa digunakan untuk menunjukkan keberadaan seorang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh sehingga membuatnya berbeda dari individu yang lain, terutama dalam hal kerangka kehidupan sosial. Identitas manusia itu terdiri dari beberapa sifat, antara lain; ia berbeda antara satu individu dengan individu lainnya, indentitas manusia merupakan produk dari interaksi sosial individu tersebut, dan identitas merupakan satu sistem yang utuh tentang berbagai sifat yang ada pada dirinya yang membuatnya berbeda dengan yang lainnya.[2]
Mengenal karakteristik/identitas diri merupakan langkah awal untuk memperoleh kesuksesan kita. Mengenal karakteristik/identitas diri bisa dilakukan dengan muhasabah al-nafs atau introspeksi diri. Baik itu dengan cara bertanya kepada orang-orang di sekitar kita tentang bagaimana kita sebenarnya, atau dengan cara bertanya pada diri kita sendiri.

Cara Menyucikan Diri
Apa yang terlahir dari diri kita, baik berupa perkataan maupun perbuatan merupakan gambaran dari jiwa kita yang abstrak. Merujuk kepada pepatah Arab yang mengatakan الظاهر مرءة الباطن“Zhahir adalah cerminan batin”. Oleh karena itu dalam usaha penyucian diri kita tidak bisa terlepas dari yang namanya tazkiyah al-nafs atau penyucian jiwa.
Seorang mukmin adalah orang yang selalu menyucikan jiwanya dari noda perbuatan dan ucapan yang memperlambat bahkan menghambat jalan masuk ke surga. Seorang mukmin senantiasa mengevakuasi waktu yang telah dilaluinya, mengkalkulasi perbuatan maksiat yang telah dilakukannya, kemudian memperbaikinya dengan ketaatan dan amal shaleh. Intinya seorang mukmin adalah orang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya dalam upaya untuk menjadi yang terbaik selalu.[3]
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa pada fitrahnya dalam diri manusia itu terhimpun 4 sifat; binatang buas, kebinatangan, syaitan, dan rabbani. Jika ia dikuasai oleh ghadhab atau kemarahan maka sifat yang melekat dalam dirinya adalah sifat binatang buas. Jika dirinya cenderung kepada syahwat maka sifat yang terbentuk dalam dirinya adalah sifat kebinatangan. Apabila kedua sifat ini terhimpun dalam satu diri manusia, akan memunculkan sikap suka berbuat kejahatan, keras kepala, suka menipu, dan lain sebagainya. Sehingga jadilah ia bersifat seperti syaitan.[4]
Adapun sifat rabbani atau ketuhanan merupakan sifat yang mulia. Apabila seseorang bersifat dengan sifat ini maka apa yang terdapat dalam sifat ke-syaitan-nan merupakan sesuatu yang ia benci. Dan untuk memperoleh sifat rabbani ini seorang mukmin harus memperbanyak ibadah dan melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama, serta mealatih diri dengan akhlaq-akhlaq yang terpuji.[5]
Namun para pakar pengobatan Islam yang menganjurkan betapa pentingnya tazkiyah al-nafs (penycian jiwa), memberikan metode tentang tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seseorang dalam penycian jiwa tersebut. oleh sebab itu hal pokok dalam penycian jiwa seseorang adalah iman dan amal shaleh. Terdapat banyak dalil normatif yang bisa menjadi argumen bahwa dengan iman dan amal shaleh mampu untuk memperoleh kesucian jiwa[6], di antaranya adalah Q.S. al-Nahl: 97 yang berbunyi
  
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[7] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Bukti bahwa dengan iman dan amal shaleh mampu memperoleh kesucian jiwa atau kesehatan jiwa adalah pengalaman Dr. Jamaluddin Madhi Abu Aza’im (psikiater Mesir). Ketika ia menangani 218 penderita opium, 80 orang di antaranya diobati dengan cara psikoterapi sosial keagamaan dengan cara membiasakan mereka pergi kemesjid, shalat, membaca al-Qur'an, dan berzikir. Setelah 5 tahun terbukti bahwa yang mendapat pengobatan psikoterapi sosial keagamaan mampu melepaskan diri dari opium dan kembali kekehidupan normalnya dengan bekerja.[8]
Konsep Diri Dan Dunia Kerja
Pembahasan mengenai konsep diri merupakan sebuah pembahsan yang dibahas dalam psikologi kepribadian.[9] Konsep diri atau self concept didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu.[10]
Mengutip pendapat Stuart dan Sundeen pengertian konsep diri adalah:
“Semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.”[11]
Lebih jelasnya bahwa konsep diri adalah cara pandang seseorang secara menyeluruh tentang dirinya yang meilputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Sebagian ahli psikologi mendefinisikan tentang konsep diri dengan bagaimana seseorang bisa atau mampu mengenal siapa dirinya sebenarnya.
Mengapa pembahasan mengenai konsep diri masuk kedalam psikologi kepribadian? Jawabannya mungkin karena ruang lingkup yang terdapat dalam psikologi kepribadian meliputi pembahasan mengenai bagaimana diri seseorang tersebut.
Dalam pembahsannya, konsep diri meliputi bagaimana kita mampu mengenali karakter kita. Karakter berarti perilaku, oleh karena itu dalam pembentukan kualitas manusia peran karakter tidak dapat disisihkan. Karakter inilah yang menempatkan baik tidaknya seseorang.[12]
Karakter dapat dibedakan atas dua kategori, yakni Karakter Pokok dan Karakter Pilihan. Karakter pokok inilah yang harusnya dimiliki oleh setiap orang. Karakter pokok kemudian dibedakan lagi menjadi tiga bagian penting, yaitu: Karakter Dasar, Karakter Unggul, dan  Pemimpin.  Karakter dasar adalah inti dari karakter pokok, karakter dasar ini ditopang oleh tiga sifat dasar manusia, yaitu tidak egois, jujur, disiplin. Karakter unggul dibentuk oleh tujuh sifat baik, yaitu: ikhlas, sabar, bersyukur, bertanggungjawab, berkorban, perbaiki diri, dan sungguh-sungguh. Untuk mempermudah pembentukan karakter unggul hendaklah dimulai dengan penyempurnaan karakter dasar. Karakter selanjutnya adalah karakter pemimpin, ia memiliki Sembilan nilai pembentuk, yaitu: Adil, arif, bijaksana, ksatria, tawadhu, sederhana, visioner, solutif, komunikatif, dan inspiratif. Dari semua sifat dalam ketiga karakter di atas dapat dibentuk dengan cara dilatih dan pembiasaan.[13]
Kemudian karakter pilihan. Karakter Pilihan adalah perilaku baik yang berkembang sesuai dengan profesi pekerjaan. Setiap pekerjaan memiliki karakter tertentu, sehingga setiap pekerja berbeda-beda karakternya, sesuai dengan pekerjaan yang dia lakoni. Guru berbeda dengan seorang TNI, dokter juga berbeda dengan pengusaha, dan seterusnya.[14]
Setelah diuraikan apa itu konsep diri, karakter, dan sifat. Maka untuk menghubungkan antara konsep diri dengan dunia kerja tidaklah sulit, mungkin sudah bisa kita bayangkan. Kita hanya perlu membaca seperti apa karakter kita secara terperinci, kemudian dengan mengetahui karakter kita sendiri selanjutnya kita bisa menentukan pekerjaan apa yang pantas untuk kita lakoni, guru kah? TNI kah? atau dokter kah? Atau juga pekerjaan lain. Namun perlu ditekankan disini adalah bahwa setiap pekerjaan tidak menekankan hanya pada satu karakter. Kadang kita harus memiliki multi karakter dalam melakukan sebuah pekerjaan. Atau lebih tepatnya dalam suatu pekerjaan terkumpul beberapa sifat.
Sebagai seorang guru misalnya, haruslah memiliki sifat-sifat yang bisa menunjangnya untuk menjdai seorang guru yang berkualitas sehingga mampu menghasilkan murid-murid yang berkualitas pula. Yang paling penting adalah seorang guru harus memiliki sifat yang membuatnya disukai oleh murid-muridnya.
Karakteristik lain yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah: Akidah, Akhlak dan Perilaku, yaitu: Guru harus mempunyai akidah yang bersih dari hal-hal yang bertentangan dengannya. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. (muraqabah) di manapun berada, melakukan koreksi diri (muhasabah) atas kelalaian dan kesalahan. Menanamkan sikap tawadhu’ (rendah hati), jangan sampai timbul perasaan ujub dan ghurur, karena orang yang tawadhu’ akan diangkatkan derajatnya oleh Allah Swt. Guru harus berakhlak mulia, berkelakuan baik, dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan hal itu, baik di dalam maupun di luar kelas. Mampu mengatur waktu dengan baik, sehingga tidak ada waktu yang terlewatkan tanpa mendatangkan manfaat duniawi dan ukhrawi. Senantiasa melandaskan niat ibadah kepada Allah ketika mengajarkan ilmu. Tidak semata-mata mengandalkan kemampuan dan usaha belaka dalam mengajar, tetapi juga berdoa meminta taufiq serta pertolongan dari Allah SWT. Guru harus menjadi teladan siswa-siswa dalam segala perkataan, perbuatan dan perilaku. Guru harus selalu jujur, adil, berkata yang baik, dan memberi nasihat serta pengarahan kepada anak didik.[15]
Sehingga guru yang professional adalah guru yang berkarakter, karena guru yang berkarakterlah yang mampu memaknai arti di balik profesinya sebagai guru. Dengan kata lain seorang guru tanpa karakter jadi miris. Begitu pula profesi pengacara atau dokter, tapi tidak mengerti makna keadilan dan kesehatan maka itulah pengacara dan dokter yang tidak berkarakter.[16]
Oleh karena itu pekerja yang sukses adalah pekerja yang berkarakter. Dalam dirinya terdapat Karakter Dasar, Karakter Unggul dan Karakter Pemimpin. Sehingga ia mampu memaknai apa yang dikerjakan.
Kesimpulan
       Dalam pembahsan di atas yang lumayan singkat mungkin sudah bisa memberikan gambaran dalam pikiran kita bahwa konsep diri, tazkiyah al-nafs, dan dunia kerja mempunyai korelasi yang sangat erat. Konsep diri merupakan sebuah cara pandang terhadap diri kita, sehingga kita bisa mengenal dan memposisikan diri kita sendiri.
Sedangkan tazkiyah al-nafs adalah metode bagaimana kita memperbaiki diri kita. Penyimpangan yang kita temui melalui pendalaman tentang konsep diri diperbaiki dengan melakukan metode-metode yang terdapat dalam tazkiyah al-nafs.
Setelah melewati dua hal di atas yakni konsep diri dan tazkiyah al-nafs baru kita bisa menentukan dunia kerja kita. Meski sebenarnya ada konsep diri atau lebih tepatnya karakter yang bisa terbentuk seiring menjalani dunia kerja. Namun tidak salahnya jika konsep diri tersebut dibangun sejak awal sebelum kita memasuki sebuah lingkungan, dalam hal ini lingkungan kerja.


[1] PhillipC. McGraw, Ph.D., Self Matters, Creating Your Life from the Inside Out, (New York, 2001), diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata, dengan judul Kau Mesti Tahu Yang Kau Mau, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), cet. I, h. 97
[2] Dr. Saad Riyadh, ‘Ilmu al-Nafs fii al-Hadits al-Syarif, (Muassasah Iqra. 2004), cet. I, diterjemahkan oleh Sutrisno Hadi, dkk, dengan judul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. I, h. 71-72
[3] Abdul Hamid al-Bilali, Penyucian Jiwa Metode Tabi’in, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), cet. II, h. 28-29
[4] al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Fakr, tt), h. 137
[5] Ibid, h. 137
[6] Yusuf bin Abdullah al-Turki, al-Thabib al-Muslim Taghayyurun wa Samatun, (Software Maktabah Syamilah)
[7] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
[8] Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006), cet. I, h. 435
[9] http://belajarpsikologi.com/pengertian-konsep-diri
[10] http:/www.e-psikologi.com/dewa/160502.htm
[11] Budi Anna Keliat Skp, MSc., Gangguan Konsep Diri, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1992), Cet. I, h. 2
[12] Erie Sudewo, Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik, (Jakarta: Republika Penerbit, 2011), Cet. I, H. 13
[13] Ibid, h. 14-15
[14] Ibid, h. 16
[15]http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3041:karakteristik-guru-teladan&catid=61:mimbar-jumat&Itemid=230
[16]Erie Sudewo, Op.cit, h. 47

Tidak ada komentar: