Pendahuluan
Allah SWT. Berfirman dalam al-Qur'an:
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, [9] dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.[10] (Q.S.
al-Syams)
Islam senantiasa memberikan bimbingan kepada penganutnya, kepada
orang-orang yang yakin akan agama Islam tersebut. Bimbingan itu tentunya
diberikan tidak lain hanya untuk menghantarkan umat Islam tersebut kepada
kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang sejati.
Islam memandang kebahagiaan tidak stagnan hanya pada kebahagiaan
duniawiyah atau hanya semata kebahagiaan yang tampak oleh pandangan semata.
Namun Islam menawarkan dan memberikan metode tentang bagaimana kebahagiaan
tersebut benar-benar dirasakan oleh hati atau jiwa manusia. Karena pada
hakikatnya kebahagiaan tersebut dirasakan oleh hati, bukan oleh panca indera
manusia.
Dua ayat surat al-Syams di atas kiranya dapat memberikan gambaran
bagaimana cara memperoleh ketenangan hati sehingga akhirnya hati tersebut
menemukan kebahagiaannya yang hakiki, yang sejati.
Namun untuk lebih jelasnya mari bersama-sama kita pelajari isi
makalah ini. Tetapi kami mohon maaf sebelumnya jika terdapat banyak kekurangan
dalam pembahasan yang kami uraikan, karena keterbatasan ilmu kami. Untuk itu
ada baiknya agar kita mendiskusikannya bersama-sama.
Pengertian
Konsep diri adalah sekumpulan keyakinan, fakta, opini, dan persepsi
tentang diri sendiri dengan mana Anda menjalani kehidupan, setiap saat dari
setiap hari.[1]
Cara Mengenal Dan Memposisikan Diri
Di dalam al-Qur'an memang tidak pernah disebutkan secara langsung
mengenai anjuran untuk mengenali diri kita. Al-Qur'an hanya memerintahkan
manusia agar senantiasa memikirkan mengenai penciptaan Allah SWT., termasuk
tentang penciptaan dirinya sendiri. وَفي أَنْفُسِكُم أَفَلاَ تُبْصِرُونَ
Setiap manusia mempunyai karakteristik/identitas yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Arab karakteristik/identitas
dikenal dengan istilah syakshiyyah. Kata ini biasa digunakan untuk
menunjukkan keberadaan seorang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh sehingga
membuatnya berbeda dari individu yang lain, terutama dalam hal kerangka
kehidupan sosial. Identitas manusia itu terdiri dari beberapa sifat, antara
lain; ia berbeda antara satu individu dengan individu lainnya, indentitas
manusia merupakan produk dari interaksi sosial individu tersebut, dan identitas
merupakan satu sistem yang utuh tentang berbagai sifat yang ada pada dirinya
yang membuatnya berbeda dengan yang lainnya.[2]
Mengenal karakteristik/identitas diri merupakan langkah awal untuk
memperoleh kesuksesan kita. Mengenal karakteristik/identitas diri bisa dilakukan
dengan muhasabah al-nafs atau introspeksi diri. Baik itu dengan cara
bertanya kepada orang-orang di sekitar kita tentang bagaimana kita sebenarnya,
atau dengan cara bertanya pada diri kita sendiri.
Cara Menyucikan Diri
Apa yang terlahir dari diri kita, baik berupa perkataan maupun
perbuatan merupakan gambaran dari jiwa kita yang abstrak. Merujuk kepada
pepatah Arab yang mengatakan “الظاهر مرءة الباطن”
“Zhahir adalah cerminan batin”. Oleh karena itu dalam usaha penyucian
diri kita tidak bisa terlepas dari yang namanya tazkiyah al-nafs atau
penyucian jiwa.
Seorang mukmin adalah orang yang selalu menyucikan jiwanya dari
noda perbuatan dan ucapan yang memperlambat bahkan menghambat jalan masuk ke
surga. Seorang mukmin senantiasa mengevakuasi waktu yang telah dilaluinya,
mengkalkulasi perbuatan maksiat yang telah dilakukannya, kemudian
memperbaikinya dengan ketaatan dan amal shaleh. Intinya seorang mukmin adalah
orang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya dalam upaya untuk menjadi yang
terbaik selalu.[3]
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa pada fitrahnya dalam diri manusia
itu terhimpun 4 sifat; binatang buas, kebinatangan, syaitan, dan rabbani. Jika
ia dikuasai oleh ghadhab atau kemarahan maka sifat yang melekat dalam
dirinya adalah sifat binatang buas. Jika dirinya cenderung kepada syahwat maka
sifat yang terbentuk dalam dirinya adalah sifat kebinatangan. Apabila kedua
sifat ini terhimpun dalam satu diri manusia, akan memunculkan sikap suka
berbuat kejahatan, keras kepala, suka menipu, dan lain sebagainya. Sehingga
jadilah ia bersifat seperti syaitan.[4]
Adapun sifat rabbani atau ketuhanan merupakan sifat yang mulia.
Apabila seseorang bersifat dengan sifat ini maka apa yang terdapat dalam sifat
ke-syaitan-nan merupakan sesuatu yang ia benci. Dan untuk memperoleh sifat
rabbani ini seorang mukmin harus memperbanyak ibadah dan melaksanakan kewajiban
yang diperintahkan oleh agama, serta mealatih diri dengan akhlaq-akhlaq yang
terpuji.[5]
Namun para pakar pengobatan Islam yang menganjurkan betapa
pentingnya tazkiyah al-nafs (penycian jiwa), memberikan metode tentang
tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seseorang dalam penycian jiwa tersebut.
oleh sebab itu hal pokok dalam penycian jiwa seseorang adalah iman dan amal
shaleh. Terdapat banyak dalil normatif yang bisa menjadi argumen bahwa dengan
iman dan amal shaleh mampu untuk memperoleh kesucian jiwa[6],
di antaranya adalah Q.S. al-Nahl: 97 yang berbunyi
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik[7]
dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Bukti bahwa dengan iman dan amal shaleh mampu memperoleh kesucian
jiwa atau kesehatan jiwa adalah pengalaman Dr. Jamaluddin Madhi Abu Aza’im
(psikiater Mesir). Ketika ia menangani 218 penderita opium, 80 orang di
antaranya diobati dengan cara psikoterapi sosial keagamaan dengan cara
membiasakan mereka pergi kemesjid, shalat, membaca al-Qur'an, dan berzikir.
Setelah 5 tahun terbukti bahwa yang mendapat pengobatan psikoterapi sosial
keagamaan mampu melepaskan diri dari opium dan kembali kekehidupan normalnya
dengan bekerja.[8]
Konsep Diri Dan Dunia Kerja
Pembahasan mengenai konsep diri merupakan sebuah pembahsan yang
dibahas dalam psikologi kepribadian.[9]
Konsep diri atau self concept didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau
penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang
meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu.[10]
Mengutip pendapat Stuart dan
Sundeen pengertian konsep diri adalah:
“Semua ide, pikiran, kepercayaan
dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu
dalam berhubungan dengan orang lain.”[11]
Lebih jelasnya bahwa konsep diri adalah cara pandang seseorang
secara menyeluruh tentang dirinya yang meilputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik
dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Sebagian
ahli psikologi mendefinisikan tentang konsep diri dengan bagaimana seseorang
bisa atau mampu mengenal siapa dirinya sebenarnya.
Mengapa pembahasan mengenai konsep diri masuk kedalam psikologi
kepribadian? Jawabannya mungkin karena ruang lingkup yang terdapat dalam
psikologi kepribadian meliputi pembahasan mengenai bagaimana diri seseorang
tersebut.
Dalam pembahsannya, konsep diri meliputi bagaimana kita mampu
mengenali karakter kita. Karakter berarti perilaku, oleh karena itu dalam
pembentukan kualitas manusia peran karakter tidak dapat disisihkan. Karakter
inilah yang menempatkan baik tidaknya seseorang.[12]
Karakter dapat dibedakan atas dua
kategori, yakni Karakter Pokok dan Karakter Pilihan. Karakter pokok inilah yang
harusnya dimiliki oleh setiap orang. Karakter pokok kemudian dibedakan lagi
menjadi tiga bagian penting, yaitu: Karakter Dasar, Karakter Unggul, dan Pemimpin.
Karakter dasar adalah inti dari karakter pokok, karakter dasar ini
ditopang oleh tiga sifat dasar manusia, yaitu tidak egois, jujur, disiplin.
Karakter unggul dibentuk oleh tujuh sifat baik, yaitu: ikhlas, sabar,
bersyukur, bertanggungjawab, berkorban, perbaiki diri, dan sungguh-sungguh.
Untuk mempermudah pembentukan karakter unggul hendaklah dimulai dengan
penyempurnaan karakter dasar. Karakter selanjutnya adalah karakter pemimpin, ia
memiliki Sembilan nilai pembentuk, yaitu: Adil, arif, bijaksana, ksatria,
tawadhu, sederhana, visioner, solutif, komunikatif, dan inspiratif. Dari semua
sifat dalam ketiga karakter di atas dapat dibentuk dengan cara dilatih dan
pembiasaan.[13]
Kemudian karakter pilihan. Karakter
Pilihan adalah perilaku baik yang berkembang sesuai dengan profesi pekerjaan.
Setiap pekerjaan memiliki karakter tertentu, sehingga setiap pekerja
berbeda-beda karakternya, sesuai dengan pekerjaan yang dia lakoni. Guru berbeda
dengan seorang TNI, dokter juga berbeda dengan pengusaha, dan seterusnya.[14]
Setelah diuraikan apa itu konsep
diri, karakter, dan sifat. Maka untuk menghubungkan antara konsep diri dengan
dunia kerja tidaklah sulit, mungkin sudah bisa kita bayangkan. Kita hanya perlu
membaca seperti apa karakter kita secara terperinci, kemudian dengan mengetahui
karakter kita sendiri selanjutnya kita bisa menentukan pekerjaan apa yang
pantas untuk kita lakoni, guru kah? TNI kah? atau dokter kah? Atau juga
pekerjaan lain. Namun perlu ditekankan disini adalah bahwa setiap pekerjaan
tidak menekankan hanya pada satu karakter. Kadang kita harus memiliki multi
karakter dalam melakukan sebuah pekerjaan. Atau lebih tepatnya dalam suatu
pekerjaan terkumpul beberapa sifat.
Sebagai seorang guru misalnya,
haruslah memiliki sifat-sifat yang bisa menunjangnya untuk menjdai seorang guru
yang berkualitas sehingga mampu menghasilkan murid-murid yang berkualitas pula.
Yang paling penting adalah seorang guru harus memiliki sifat yang membuatnya
disukai oleh murid-muridnya.
Karakteristik
lain yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah: Akidah, Akhlak
dan Perilaku, yaitu: Guru harus mempunyai akidah yang bersih dari hal-hal yang
bertentangan dengannya. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. (muraqabah)
di manapun berada, melakukan koreksi diri (muhasabah) atas kelalaian dan
kesalahan. Menanamkan sikap tawadhu’ (rendah hati), jangan sampai timbul
perasaan ujub dan ghurur, karena orang yang tawadhu’ akan
diangkatkan derajatnya oleh Allah Swt. Guru harus berakhlak mulia, berkelakuan
baik, dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan hal itu, baik di dalam
maupun di luar kelas. Mampu mengatur waktu dengan baik, sehingga tidak ada
waktu yang terlewatkan tanpa mendatangkan manfaat duniawi dan ukhrawi.
Senantiasa melandaskan niat ibadah kepada Allah ketika mengajarkan ilmu. Tidak
semata-mata mengandalkan kemampuan dan usaha belaka dalam mengajar, tetapi juga
berdoa meminta taufiq serta pertolongan dari Allah SWT. Guru harus menjadi
teladan siswa-siswa dalam segala perkataan, perbuatan dan perilaku. Guru harus
selalu jujur, adil, berkata yang baik, dan memberi nasihat serta pengarahan
kepada anak didik.[15]
Sehingga guru
yang professional adalah guru yang berkarakter, karena guru yang berkarakterlah
yang mampu memaknai arti di balik profesinya sebagai guru. Dengan kata lain
seorang guru tanpa karakter jadi miris. Begitu pula profesi pengacara atau
dokter, tapi tidak mengerti makna keadilan dan kesehatan maka itulah pengacara
dan dokter yang tidak berkarakter.[16]
Oleh karena itu
pekerja yang sukses adalah pekerja yang berkarakter. Dalam dirinya terdapat
Karakter Dasar, Karakter Unggul dan Karakter Pemimpin. Sehingga ia mampu
memaknai apa yang dikerjakan.
Kesimpulan
Dalam pembahsan di
atas yang lumayan singkat mungkin sudah bisa memberikan gambaran dalam pikiran
kita bahwa konsep diri, tazkiyah al-nafs, dan dunia kerja mempunyai
korelasi yang sangat erat. Konsep diri merupakan sebuah cara pandang terhadap
diri kita, sehingga kita bisa mengenal dan memposisikan diri kita sendiri.
Sedangkan tazkiyah al-nafs adalah metode bagaimana kita
memperbaiki diri kita. Penyimpangan yang kita temui melalui pendalaman tentang
konsep diri diperbaiki dengan melakukan metode-metode yang terdapat dalam tazkiyah
al-nafs.
Setelah melewati dua hal di atas yakni konsep diri dan tazkiyah
al-nafs baru kita bisa menentukan dunia kerja kita. Meski sebenarnya ada
konsep diri atau lebih tepatnya karakter yang bisa terbentuk seiring menjalani
dunia kerja. Namun tidak salahnya jika konsep diri tersebut dibangun sejak awal
sebelum kita memasuki sebuah lingkungan, dalam hal ini lingkungan kerja.
[1]
PhillipC. McGraw, Ph.D., Self Matters, Creating Your Life from the Inside
Out, (New York, 2001), diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata, dengan judul Kau
Mesti Tahu Yang Kau Mau, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), cet. I, h. 97
[2]
Dr. Saad Riyadh, ‘Ilmu al-Nafs fii al-Hadits al-Syarif, (Muassasah Iqra.
2004), cet. I,
diterjemahkan oleh Sutrisno Hadi, dkk, dengan judul Jiwa Dalam Bimbingan
Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. I, h. 71-72
[3]
Abdul Hamid al-Bilali, Penyucian Jiwa Metode Tabi’in, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2000), cet. II, h. 28-29
[4]
al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Fakr, tt), h.
137
[5]
Ibid, h. 137
[6]
Yusuf bin Abdullah al-Turki, al-Thabib al-Muslim Taghayyurun wa Samatun,
(Software Maktabah Syamilah)
[7]
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam
mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
[8]
Muhammad
Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2006), cet. I, h. 435
[9]
http://belajarpsikologi.com/pengertian-konsep-diri
[10]
http:/www.e-psikologi.com/dewa/160502.htm
[11]
Budi Anna Keliat Skp, MSc., Gangguan Konsep Diri, (Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran, 1992), Cet. I, h. 2
[12]
Erie Sudewo, Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik, (Jakarta:
Republika Penerbit, 2011), Cet. I, H. 13
[13]
Ibid, h. 14-15
[14]
Ibid, h. 16
[15]http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3041:karakteristik-guru-teladan&catid=61:mimbar-jumat&Itemid=230
[16]Erie
Sudewo, Op.cit, h. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar