(Penjelasan Dan Pemahaman Hadis Dalam
Konteks Kekinian)
Oleh: Adib
Munjir[1]
- Pendahuluan
Islam
sebagai agama yang sempurna, telah memberikan petunjuk dan cara tentang
bagaimana kita hidup untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan yang sempurna.
Kebahagiaan yang sempurna hanya akan dirasakan jika kita mengindahkan sikap
egoisme yang ada dalam diri kita masing-masing. Akan tetapi diwujudkan dalam
bentuk kepedulian terhadap orang-orang beriman yang ada di sekitar kita.
Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muttafaqun ‘Alaih). Bentuk cinta kepada saudara ini dijadikan sebagai barometer kesempurnaan iman, dan mencintai saudara hendaklah sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Sehingga ketika seseorang yang beriman dan taat kepada Allah cinta ataupun senang menjauhkan dirinya dari hal-hal maksiat, maka hendaklah sika rasa cinta menjauhi maksiat itu juga dia berikan kepada saudaranya yang beriman.
Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muttafaqun ‘Alaih). Bentuk cinta kepada saudara ini dijadikan sebagai barometer kesempurnaan iman, dan mencintai saudara hendaklah sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Sehingga ketika seseorang yang beriman dan taat kepada Allah cinta ataupun senang menjauhkan dirinya dari hal-hal maksiat, maka hendaklah sika rasa cinta menjauhi maksiat itu juga dia berikan kepada saudaranya yang beriman.
Oleh
karena itu, dalam tulisan singkat ini saya mencoba mengupas sedikit tentang
bagaimana seharusnya kita bersikap ketika kita dihadapkan dengan saudara kita
yang berbuat zalim atau pun yang dizalimi. Dengan mengutip satu hadis utama dan
beberapa hadis lainnya yang akan menjadi penjelas bagi hadis utama tersebut, serta
beberapa penjelasan dari kitab syarah, semoga tulisan ini dapat dipahami dan
dimengerti dengan jelas.
- Matan Hadis Dan Terjemahnya
حدثنا عثمان بن أبي شيبة حدثنا هشيم أخبرنا عبيد الله
ابن أبي بكر بن أنس وحميد الطويل سمع أنس بن مالك رضي الله عنه يقول : قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : اُنْصُرْ أخَاكَ ظالِمًا أوْ مَظْلُوْمًا[2]
Artinya:
“Meriwayatkan
kepada kami Utsman bin Abi Syaibah meriwayatkan kepada kami Hasyim, mengabarkan
kepada kami ‘Ubaidullah ibnu Abi Bakar bin Anas dan Humaid al-Thawil, Anas bin
Malik ra. Mendengar, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Tolonglah saudaramu
yang berbuat zalim atau yang dizalimi”
Hadis
ini dan beberapa hadis lainnya yang serupa terdapat dalam kamus hadis al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Hadits karya A.Y Weinzink di halaman 361. Diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahih beliau. Kemudian dalam riwayat yang
lain, beliau menyebutkan hadis serupa:
عن
أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا ، قَالُوْا ياَ رَسُوْلُ اللهِ
هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا فكيف ننصره ظالما ؟ قال : تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ .[3]
Artinya:
“Dari
Anas ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Tolonglah saudaramu yang berbuat
zalim atau yang dizalimi, para sahabat berkata: wahai Rasulullah, orang ini kami
tolong dalam keadaan dizalimi, maka bagaimana kami menolongnya ketika ia
berbuat zalim? Rasululla Saw. menjawab: kamu pegang kedua tangannya”
Beliau
juga meriwayatkan hadis serupa dalam pembahasan al-Ikrah bab yamin
al-rajulu li shahibihi innahu akhuhu idza khafa ‘alaihi al-qatla aw nahwahu,
dengan nash sebagai berikut:
اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا
، فقال رجل يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره ؟
قال : تُحْجِزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ[4]
Artinya:
“Tolonglah
saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi, maka seorang laki-laki
berkata: wahai Rasulullah aku menolongnya jika dia dizalimi, apa pendapat anda
jika ia berbuat zalim, bagaimana aku menolongnya? Rasulullah menjawab menghalangi
atau mencegahnya dari kezaliman, begitulah menolongnya.”
Selanjutnya
hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi dari Anas bin Malik dalam bab
al-Fitan pembahasan ke 67. Dan begitu pula Imam al-Darimi dalam bab al-Riqaq,
pembahasan Unshur akhaka Zhaliman Aw Mazhluman.
- Penjelasan Hadis Dan Pemahaman Hadis Dalam Konteks Kekinian
Bangsa
Arab mendefinisikan kata al-Nashr dengan makna al-I’anah dan al-Ta’yid,
keduanya mempunyai arti yang serupa, yaitu menolong atau membantu. Dan
Rasulullah telah menjelaskan hadis ini dalam beberapa riwayat yang tersebut di
atas, bahwa menolong orang yang berbuat zalim di sini adalah dengan cara mencegahnya
untuk berbuat zalim. Karen jika dia dibiarkan begitu saja, dia akan memperbuat
kezaliman tersebut.[5]
Imam
al-Baihaqi berpendapat bahwa pada hakikatnya orang yang zalim itu adalah orang yang
dizalimi oleh dirinya sendiri. Dan ketika kita mencegahnya dari berbuat kezaliman,
maka hal tersebut merupakan sebuah bentuk pertolongan yang kita berikan padanya
agar tidak berbuat zalim. Sebagai contoh, ketika ada orang yang hendak berbuat
zina, lalu kita mencegahnya, maka pada hakikatnya adalah memberikan pertolongan
untuknya.[6]
Hadis
ini merupakan salah satu bentuk atau bukti bahwa Islam merupakan agama yang
bijak. Barangkali ketika kita dihadapkan dengan sebuah permasalahan berkenaan
dengan orang yang berbuat zalim, sebut saja orang yang berzina. Tidak sedikit
yang lebih mendahulukan emosinya saat berhadapan dengan masalah seperti ini,
alasannya adalah karena pelaku zina tersebut telah mencoreng agama Islam,
karena zina merupakan dosa besar. Sehingga orang yang ilmunya hanya sebatas
kuku hanya bisa menghardik dan mengutuknya habis-habisan. Sementara Islam pada
dasarnya tidak mengajarkan hal tersebut. Akan tetapi kita diperintahkan untuk
menolongnya dengan cara menjauhkannya dan mencegahnya untuk berbuat
kemaksiatan. Yang menjadi problem saat ini adalah kebanyakan orang beriman yang
berbuat maksiat tidak menyadari bahwa orang yang mencegahnya untuk berbuat
kemaksiatan pada hakikatnya hendak menolongnya agar tidak terjerumus pada
jurang kedurjanaan.
Ketika
seseorang berbuat kemaksiatan, sikap menghardik dan mengutuknya atas apa yang
ia lakukan bukanlah hal yang tepat menurut pandangan Rasulullah Saw. Karena
yang seperti itu hanya akan menambah suatu permasalahan, yakni permusuhan dan
tidak akan membuatnya kembali kepada jalan yang benar. Jalan yang benar adalah
bagaimana mengembalikan ia kepada Islam yang lurus.
Dan
inilah yang sebenarnya harus kita lakukan di era modern yang penuh dengan
segala bentuk kezaliman ini. Jika sikap menghardik, dan mengutuk kepada orang
yang berbuat zalim, padahal dia juga orang Islam, maka hal ini akan memancing
perpecahan umat Islam, dan hilangnya kasih sayang di antara mereka. Sementara
Rasulullah saja menunjukkan sikap lemah lembut beliau ketika beliau dizalimi
oleh orang Yahudi, selama kezaliman itu hanya menyentuh diri pribadi beliau,
bukan pada penghinaan terhadap agama.
Adapun
mengenai menolong orang yang dizalimi saya rasa sudah sangat jelas bentuk
pertolongan yang harus kita berikan kepadanya, yaitu menyelamatkannya dari
kezhaliman. Oleh karena itu, bisa saya berikan kesimpulan bahwa dalam menolong
orang berbuat kezaliman adalah menghindarkannya dari kezaliman itu sendiri yang
jika dibiarkan, dia akan memperbuatnya.
- Penutup
Islam
yang hadir dengan konsep kasih sayang, memberikan tuntunan tentang bagaimana
seharusnya kita mewujudkan bentuk kasih sayang tersebut. Hadis ini adalah
solusi untuk merekatkan kembali ikatan persaudaraan di kalangan umat Islam. Dan
dalam menyikapi sebuah realita, hendaklah kebijaksanaan itu bersumber pada apa
yang telah diajarkan oleh Islam.
[1]
Mahasiswa Program Khusus Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari
Banjarmasin, angkatan 2010.
[2]
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, (Kairo:
Penerbit al-Salafiyah, 1403 H), cet I,
Jilid II, Hlm. 190
[3]
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih
....hlm. 190
[4]
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih
....hlm. 287
[5]
Abu al-Husain Ali bin Khalaf bin ‘Abd al-Malik, Syarah Shahih al-Bukhari li
Ibni Baththal, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd), jilid VI, hlm. 572
[6]
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarh
Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), cet. I, hlm. 407
Tidak ada komentar:
Posting Komentar